Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda
selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh
Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan
jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara
terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya
dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang
telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang
sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan
Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi
perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi
yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan
Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini,
terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua
Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda
adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua
Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai
musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya
masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam
Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak
pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes,
Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu
bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub
dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat
Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air
yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan
sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus
1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia
dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan
penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu
Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa
Melanesia, maka biarlah bangsa Papua
menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa
Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan
BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang
masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan
Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan
Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[1]
Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang
batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan
Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya
adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam
wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat
dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak
pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan
penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk
merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata
pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun
1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore)
yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian
Barat Perjuangan.[2]
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan,
Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda.
Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela
pihak adalah:
a.
Sebelum penandatangan
Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat
dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia
Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda
mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut
tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.[3]
b.
Dalam Konferensi Meja
Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945
disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku
seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan
Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik
Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.[4]
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew
Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi
Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena
bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”[5]
c.
Dalam konferensi para
menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal
25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para
Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan
tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15
April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah
untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland.
Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang
mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda.
Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan
diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa
batas waktu yang ditentukan. [6]
d.
Karena dirasa wilayah
Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia
membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami
jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang
diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama
mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
#AMP
0 komentar