![]() |
Ibunda dan anak (Ist/Google) |
Suva,1/7
(Jubi)- Pagi itu mendung. Perang revolusi rimba meletus. Para pria berkaki
telanjang yang mencintai hak milik dan kehidupan membanjiri jalanan kota.
Adu ego dengan yang bar-bar dan tangan jahil. Pertempuran sangat sengit.
Letupan-letupan meriam sangat ramai.
“Pukul
mundur! Manfaatkan peluru yang ada! Lahir satu kali, mati pun satu kali!
Lawan! Lawan! Lawan…! ”terikan-teriakan terdengar dari arena pertarungan.
Anak-anak
dan ibu panik lari berhamburan mencari perlidungan. Terjadi perpisahan anak dan
orang tua. Anak kehilangan ayah-ibu. Ibu kehilangan suami dan anak. Nyawa suami
taruhan dalam revolusi.
“Sayang,
musuh sudah dekat, letupan bedil makin ramai. Cepat lari! Kita sembunyi
di semak-semak sana…” tutur ibunda kepada Mata.
Mata
yang baru berusia 3 tahun itu tidak mengerti yang sedang terjadi. Ia berusaha
berlari dengan arahan Ibunda.
“Mama
itu bunyi petasan ka, sa mau nonton orang main petasan,” tutur Mata kepada
Ibunda, ia teringat letupan petasan menyambut Natal dan Tahun Baru enam
bulan lalu di jalanan kota.
“Sayang,
ada yang sedang menembak orang sampai mati. Mereka sedang mengarahkan tembakan
ke kita juga. Kita mau sembunyi. Jadi cepatlah berlari! ”tutur Ibunda.
“Mama
saya takut….,” tutur Mata menyadari kalau kehidupannya sedang terancam, lalu
memeluk Ibunda yang sedang panik dan gemetaran itu.
Ibunda
memeluk dan mengendong Mata, lalu berlari di semak-semak menuju rimba mengejar
yang lebih dulu lari.
Gemuruh
bedil, peluru-peluru berhamburan, mematahkah ranting-ranting hingga terjatuh
menghalanggi jalanan. Asap mesiu bedil menutupi jalan kota, menyebar ke seluruh
sudut kota menjadi gelap.
Awan
hitam mengupal. Hujan pun turun membasasi luka-luka-luka bekas bedil,
membersihkan tubuh-tubuh yang terbaring berlumuran darah.
“Mama
sakit….mata perih…! ”teriak Mata, saat tertimpa ranting pohon. Matanya
perih karena terkena gas air mata yang dilepaskan ke udara.
Ibunda
cepat mengatasi ranting dan menutup mulut Mata.
“Aduh,
perut saya,”tutur Ibunda sambil mengerutkan dahi lalu duduk bersila sambil
mengendong Mata, di bawah pohon yang tidak jauh dari ranting pohon menimpa
Mata.
“Mama
juga sakit ka…”tanya Mata.
Mama
menatap Mata dan meneteskan air mata.
“Mengapa
Mama menangis?”
“Sayang,
Mama mungkin tidak bisa membawamu lari. Mama sudah tidak kuat, kehabisan
tenaga. Mama hanya berharap ada yang menolong. Berharap kaka Nona yang sudah
lari ke hutan bisa datang mencari dan pergi memabwamu ke rimba,”pinta Ibunda.
“Mama
mau ke mana?” tanya Mata sambil menatap.
Mata
menyaksikan baju dibawa ketiak mama berlumuran darah. Mata ketakutan dan
terdiam.
“Anakku,
mama sayang. Mama tidak akan meninggalkanmu. Sayang, Kaka Nona ada
jemput,”pinta Ibunda sambil menyaksikan putri sulungnya yang muncul dari
semak-semak rimba.
Putri
yang sudah mandi keringat, hebusan nafas tidak teratur itu berhenti dan
tersentak kaget memegang dada.
“Aduh,
Mamaku sayang…”tuturnya, lalu memeluk.
“Apakah
mama masih kuat?”tanya putri sulung.
“Sayang,
kamu butakah? Sudah tidak perlu tanya banyak. Musuh semakin dekat. Kamu bawa
lari adikmu baik-baik ya…kalau mama masih kuat, akan kejar dari belakang,
sampai jumpa”pintanya, lemas.
Putri
sulung tidak menahan haru. Air mata mengalir bersama hujan yang makin deras dan
membersikan darah Ibunda yang mengalir di bawa telapak kakinya.
“Mama
kita pergi dulu ya…”ujar Mata menatap mamanya yang tidak bedaya di bawa pohon
itu, lalu pergi bersama kaka Nona menyelamatkan diri dari kejaran sang pemilik
bedil.
Ketika
meninggalkan mama, Mata mulai memahami kondisi mama. Mama kena tima panas bedil
yang ditembakkan.
“Kaka
Nona…Mama jadi korban Revolusi. Kalau saya besar, saya pasti bisa mengendong
Mama lari ke hutan, kita pasti selamat,”tutur Mata sambil berlari di depan
kakanya.
Mama
menyaksikan Mata bersama kakanya berlarih menghilang ke hutan rimba yang tidak
mungkin musuh mengejar atau sang penjilat darah pasti mengerjarnya.
“Nasib mereka masih antara. Saya harap musuh tidak mendapati mereka demi ahli waris negeri ini. Saya sudah tua, tidak papa kalau tidur untuk selemanya,”pintanya pasrah.
Ibunda
berusaha berdiri membersihkan darah yang terus mengalir dari lambungnya,
namun rasa sakit akibat air hujan membuatnya makin tidak berdaya. Matanya mulai
kunang-kunan tidak berkosentrasi pada lukanya. Letupan senapan terus terdengar.
Sentakan kaki mendekati Ibunda yang lemas.
“Biarkan
tua keriput itu sudah mau mati. Kita kejar yang masuk ke hutan,”perintah kepala
pasukan, menggarahkan pasukannya.
“Komandan
masih segar itu. Dadanya masih kencang,”tutur salah satu perajurit sambil
memperhatikan dada Ibunda yang masih polos itu.
“Kok
sudah tembak saya mau perkosa lagi Ka?”tutur Ibunda.
“Saya
harap Mata dan Putri sudah lari, sembunyi di tempat yang tidak mungkin
orang-orang ini kejar lagi. Kalau dapat, tamatlah sudah, riwayat orang-orang
pemilik negeri. Rohku akan mengejar dan melindunggi mereka,”gumam
Mama,menyaksikan para serdadu yang sedang berlari, lalu, Ibunda menarik dan
mengembuskan napas terakhir.
“Ayoh
cepat, kita kejar yang lari masuk ke hutan. Jangan membiarkan pemberontak itu
masuk ke hutan. Kita harus tumpas kelompok yang terus merong-rong kekuasaan ego
jahil kita ini!”teriak kepada pasukan terus mengarahkan pasukan.
Pasukan
bedil masuk ke hutan mengejar Mata dengan kaka Nona menghilang. Entah ke mana
mereka. Rimba menjadi harapan pelindung hidup. Hidup bersama rumput dan daun. (Jubi/Mawel)
Sumber : http://tabloidjubi.com
0 komentar