Natal datang lagi. Kumandang lagu-lagu natal, kreasi kartu dan ucapan
natal serba canggih, bahkan kembang api yang sudah dirancang khusus
telah didistribusikan ke segala pelosok Tanah Air, untuk menyemarakkan
suasana Natal dan Tahun Baru.
Mari kita tinggalkan segala keramaian,
merunduk sebentar sambil bermenung diri, untuk mendengarkan seluruh
kemanusiaan kita dalam isak tangis penuh makna sang Bayi Natal.
Dialah
sang bayi mungil dari kesunyian Bethlehem, yang telah meninggalkan
rahim surgawi nun jauh di sana. Sungguh mengharukan bahwa Yesus rela
dikandung dengan cara ajaib dalam rahim sang Bunda Perawan.
Kelahiran
Yesus tentu saja menimbulkan rasa sakit yang tiada tara bagi sang ibu.
Namun, inilah jalan yang harus dilewati untuk penyempurnaan manusia dan
dunia. Dalam senandung sukacita itulah, Maria membiarkan bayi Yesus
menangis.
Kerasnya tangisan bayi Yesus untuk merasakan sakitnya
dunia. Kerasnya tangisan bayi Yesus untuk membuat manusia mengerti
mengapa tangis dan air mata selalu saja terjadi di sepanjang peredaran
sejarah kehidupan manusia. Tangisan Yesus menjadikan manusia berani memasuki perjuangan merajut tatanan kehidupan yang lebih baik.
Kalah pada Godaan
Kenyataannya, manusia dengan pongah masih mengumbar tawa ria saat bersepakat dengan ular, si penabur benih kematian. Berawal dari keputusan Adam dan Hawa memakan buah kurdi di taman Eden—yang menjadi dosa asal—manusia akhirnya terhukum mati karena berani melawan putusan surgawi.
Kenyataannya, manusia dengan pongah masih mengumbar tawa ria saat bersepakat dengan ular, si penabur benih kematian. Berawal dari keputusan Adam dan Hawa memakan buah kurdi di taman Eden—yang menjadi dosa asal—manusia akhirnya terhukum mati karena berani melawan putusan surgawi.
Maka,
manusia pun menjalani kehidupan yang hina dina, rapuh, dan terbatas
setelah dengan dada membusung dan kepala mencongak jatuh dalam godaan:
menjangkau kemuliaan surgawi dan menghina Sang Pemilik Agung.
Akibatnya,
bersama Adam dan Hawa, manusia terhukum dan terhalau keluar, memasuki
dunia yang penuh ratap tangis dan kertak gigi. Maka, kedatangan bayi
Yesus untuk menghentikan tangisan manusia dan membebaskan mereka dari
cengkeraman maut. Tanpa tangisan Ilahi ini, pastilah sia-sia segala
usaha manusia meretas jalan ke sumber kehidupan.
Yesus menjadi
manusia karena hendak terlibat secara intens dalam sepak terjang
kehidupan manusia. Ia siap mengalami dinamika suka duka kehidupan dunia
yang fana. Ia siap tunduk dan patuh setia pada tatanan dan tuntutan
hukum kehidupan.
Maka, sebagaimana digambarkan dalam kitab suci,
Yesus menjadi manusia yang sesungguhnya. Ia pun menanggung rasa lapar,
haus, panas dingin, takut, lelah, dan terkapar.
Dunia Fana
Inilah dunia, tempat orangtua tega meninggalkan bayinya di pintu gereja. Inilah dunia, tempat manusia sering kali memutus tali persaudaraan dan berperang satu sama lain.
Inilah dunia, tempat orangtua tega meninggalkan bayinya di pintu gereja. Inilah dunia, tempat manusia sering kali memutus tali persaudaraan dan berperang satu sama lain.
Tangisan bayi Yesus adalah keprihatinan
melihat manusia belum bekerja sama mengatasi situasi kemiskinan yang
sangat absolut. Yesus pun menangisi ketidakadilan: ketika ibu-Nya tidak
mendapatkan dispensasi dan perlakuan khusus dalam pelaksanaan kewajiban
cacah jiwa saat itu, dan beberapa ketidakadilan lain yang melanda umat
manusia saat ini. Hukum yang berpihak kepada si elite dan si kaya,
kesempatan yang tak pernah menyapa mereka yang kekurangan.
Zaman
Yesus lahir hingga sekarang ternyata sama saja. Di hadapan penguasa,
keadaan nyata setiap orang, termasuk mereka yang sedang sakit dan tak
berdaya, tidak penting untuk diperhitungkan. Bagi penguasa, yang penting
perintah bersifat wajib untuk dijalankan oleh semua orang, tanpa
kecuali!
Maka, bayi Yesus menangis karena merasakan penderitaan
ibu-Nya, merasakan kekhawatiran sang ayah. Yosef memang mencemaskan
nasib Maria, yang terancam hukum agama Yahudi lantaran sudah hamil
sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Namun, yang lebih penting lagi,
Yesus menangis karena Ia memberikan pertanda bahwa sejak saat
kelahiran-Nya, Ia rela menderita demi kebenaran agung yang sering kali
tidak sanggup ditangkap para pembesar dan penguasa.
Paradoks Kehidupan
Dalam kehidupan manusiawinya kemudian, Yesus memang menjalani paradoks kehidupan. Ia dihina sekaligus dipuja. Ia dihujat sekaligus dihormati. Ia diuji dan menjawab dengan paradigma baru bahwa Tuhan Mahamengampuni dan manusia punya cinta yang menguatkan.
Dalam kehidupan manusiawinya kemudian, Yesus memang menjalani paradoks kehidupan. Ia dihina sekaligus dipuja. Ia dihujat sekaligus dihormati. Ia diuji dan menjawab dengan paradigma baru bahwa Tuhan Mahamengampuni dan manusia punya cinta yang menguatkan.
Namun, bayi Yesus juga
menangis karena salib telah terpampang di depan mata. Salib adalah
paradoks kehidupan yang lain lagi. Ia menarik garis tentang yang benar
dan salah, yang sejati dan yang palsu, yang sering kali
dijungkirbalikkan hanya karena kepentingan sesaat.
Tangis Yesus
adalah kepolosan jiwa dan kesahajaan hidup, yang akan tercabik-cabik
akibat korban agung yang harus dipersembahkan agar kebenaran dan
keadilan dapat tegak di Bumi.
Dengan tangis dan air mata, dengan
seluruh diri yang hancur, sebenarnya Yesus ingin menyatakan komitmen
pribadi-Nya untuk kebenaran, keadilan, damai-sejahtera dan sukacita
dalam Roh Kudus yang harus dibayar mahal.
Demi Kebenaran
Tangisan dan air mata Yesus seolah kembali menegaskan apa yang pernah diucapkan filsuf Yunani Aschylus (525-456 SM): "Kita harus berjuang dan menderita, menderita demi kebenaran. Kita tidak dapat tidur, dan hati kita selalu diliputi kepedihan, betapa pun kita menolak, agar kita bisa belajar apa itu kemanisan."
Tangisan dan air mata Yesus seolah kembali menegaskan apa yang pernah diucapkan filsuf Yunani Aschylus (525-456 SM): "Kita harus berjuang dan menderita, menderita demi kebenaran. Kita tidak dapat tidur, dan hati kita selalu diliputi kepedihan, betapa pun kita menolak, agar kita bisa belajar apa itu kemanisan."
Sang Bapa surgawi telah mengutus Yesus ke tengah
manusia agar manusia belajar bahwa manusia pun memiliki panggilan luhur
"untuk berjuang demi kebenaran". Itulah yang harus dibayar dengan darah
dan air mata manusia.
Maka, pada perayaan Natal ini, marilah kita
sambut Sang Bayi yang menangis agar Ia menangis bersama orang-orang yang
didepak ke perbatasan-perbatasan dan daerah kumuh di seantero negeri
ini, yang sangat jauh dari sumber-sumber kemajuan.
Menangislah
bersama manusia yang terpinggirkan, yang dipaksa berderap bersama arus
kemajuan, lalu menjadi salah tingkah, diobyekkan, dan akhirnya menempuh
jalan-jalan sesat.
Kelahiran-Nya adalah untuk manusia yang masih
terlanda aneka bentuk pemiskinan dan pembodohan sehingga kadang manusia
tidak bisa membedakan apa yang pantas ditangisi dan apa yang layak
ditertawakan.
Yesus, selamat lahir lagi. Semoga kami menjadi
manusia-manusia sejati yang tahu makna terdalam kehidupan dan
menjalaninya dengan sukacita.
By Dominikus Saku
Uskup Atambua
Uskup Atambua
0 komentar